CIBINONG - Keputusan Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia (DPR RI) untuk mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020 menimbulkan reaksi dan kecaman dari berbagai pihak. Banyak pihak ingin memastikan RUU PKS ini dapat masuk ke Prolegnas prioritas dalam rapat DPR RI pada bulan Oktober mendatang. Sebab urgensi disahkannya RUU PKS ini sudah tidak dapat ditunda lagi.
Hal tersebut dijelaskan oleh Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan RI, Olivia Chadijah Salampessy kepada Radio Tegar Beriman (Teman) 95,3 FM Diskominfo Kabupaten Bogor. Menurutnya kehadiran RUU PKS ini sudah sangat diharapkan, karena jika nantinya RUU ini disahkan akan menjadi undang-undang yang bisa melindungi hak-hak korban untuk mengakses keadilan, sehingga mendapatkan proses keadilan yang berkeadilan.
“Undang-undang ini akan mencakup pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban serta pemidanaan pelaku. Undang-undang ini juga akan memberikan kepastian hukum terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual”, tandas Olivia.
Ia menambahkan, RUU ini juga mencakup pemidanaan khusus bagi para pelaku baik itu di perusahaan, bagi pelaku-pelaku yang menghambat, yang bertindak lalai, ada sanksi-sanksi administrasinya. Kemudian undang-undang ini juga akan memberi ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan berbagai pencegahan dan tentunya juga akan menegaskan aturan terhadap berbagai layanan pemerintah maupun layanan negara.
“Catatan tahunan Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada 8 Maret 2020 menyebutkan, dalam kurun waktu 12 tahun dari tahun 2008 sampai 2019 kekerasan terhadap perempuan naik hampir 800 persen artinya di tahun 2008 ada 54.425 kasus, dan di tahun 2019 menjadi 431.471 kasus”, jelasnya.
Khusus untuk kasus kekerasan seksual saja, lanjut Olivia, di sepanjang tahun 2019 ada 4.898 kasus belum lagi kasus-kasus pengaduan baru yang berlangsung dari bulan Januari sampai bulan Agustus ini. Komnas Perempuan sudah mengkompilasi dan mengklasifikasi mulai bulan Januari sampai Mei itu kurang lebih 900an kasus pengaduan yang diterima langsung oleh Komnas Perempuan. Padahal biasanya per bulan itu cuma 100an sebelum terjadi pandemi. Setelah terjadi pandemi kasusnya cenderung meningkat.
“Menariknya bahwa jenisnya pun menjadi beragam khususnya kasus-kasus yang diadukan itu kekerasan berbasis online meningkat luar biasa. Kenapa ini RUU PKS harus segera didorong, karena setiap kasus yang diadukan hanya 29 persen diproses di kepolisian, dari yang diproses itu Cuma 22 persen bisa diputuskan di pengadilan”, terangnya.
Kami Komnas Perempuan, seluruh jaringan masyarakat sipil, seluruh komponen masyarakat meminta para wakil rakyat membuka mata, membuka hati, melihat sudah terlalu banyak korban yang berjatuhan karena “kelalaian negara” dalam menghadirkan hukum yang komperhensif bagi pemenuhan hak-hak korban.
“Saatnya, lanjut Olivia, kita semua bergandeng tangan, karena semakin banyak yang mengetahui dan memahami pentingnya RUU PKS maka otomatis semakin banyak juga orang yang tertolong dan terlindungi dari tindak kekerasan seksual di negara ini”, tandasnya.(MEY/RIDO/DISKOMINFO)